Raja-Raja Di Indonesia Yang Masih Ada
Sampaikan Cerita/Opini Ini Melalui :
Warta jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 12 Agustus 2012
Berbagai kegagalan dan hidup yang berat dapat membawa orang ke arah putus asa. Saat seseorang berputus asa, dunia serasa hampa dan masa depan seolah-olah tiada. Kondisi seperti itulah yang dialami nabi Elia.
Elia baru mengalami kemenangan yang gemilang melawan nabi-nabi Baal. Ia berharap agar kemenangan itu dapat membuat seluruh rakyat Israel dan rajanya bertobat, meninggalkan segala berhala, dan bersujud menyembah Allah. Sebelumnya Elia sudah berulangkali memberitakan firman Tuhan kepada paduka raja, namun selama itu hati raja Ahab tetap membaja. Ia terus menyerukan pertobatan, namun umat Israel tetap berbuat dosa dan menyembah berhala. Kemenangan menghadapi nabi-nabi Baal diharapkan Elia bisa menjadi momentum untuk membuat raja dan seluruh umat bertobat.
Harapan Elia tidak menjadi kenyataan. Kendatipun ia telah menurunkan api dari langit untuk membakar korban persembahan dan mengalahkan nabi-nabi Baal, namun umat Israel masih belum mau bertobat. Raja Ahab pun masih tetap mengeraskan hatinya. Ia malah melaporkan peristiwa kekalahan nabi-nabi Baal di Gunung Karmel kepada ratu Izebel.
Ratu Izebel yang fanatik menyembah dewa Baal itu menjadi murka. Ia mengancam akan membunuh Elia. Rupanya ancaman itu serius. Hal ini membuat Elia pergi menyelamatkan nyawanya.
Sesampainya di Betsyeba, Elia berhenti dan berdoa. Apa yang didoakannya? Ia berdoa minta mati! Sungguh mengejutkan. Seorang hamba Tuhan yang luar biasa dan dikagumi banyak orang justru berdoa minta mati (1 Raj. 19:4b).
Mengapa Elia berdoa minta mati? Pada saat itu Elia mengalami keputusasaan. Keputusasaan itu dikarenakan kulminasi dari beberapa sebab, yaitu: 1) Ia kecewa karena umat Israel, khususnya raja Ahab tidak mau bertobat. 2) Ia mengira kerja kerasnya selama ini hanyalah suatu kegagalan besar dan hanya tinggal dia sendiri yang bersujud kepada Tuhan. 3) Ia dalam keadaan ketakutan karena ancaman dari ratu Izebel yang hendak membunuhnya. Elia mengalami kekecewaan yang berat, kesendirian yang menekan, dan ketakutan yang mendalam sehinga ia berputus asa. Di dalam keputusasaan itu, Elia hanya melihat kepada diri sendiri dan situasi yang ada. Ia merasa seolah-olah tidak ada harapan lagi. Itulah membuat Elia berdoa minta mati.
Syukurlah, ada Tuhan di tengah keputusasaan Elia. Tuhan mengasihi dan peduli pada Elia. Ia tidak mencabut nyawa Elia, tetapi Ia datang untuk memberi pertolongan kepadanya! Tuhan berkenan membangkitkan Elia dari keputusasaannya:
1) Ia memberikan istirahat, makan dan minum kepada Elia (1 Raj. 19:5-8). Kebutuhan fisiknya diperhatikan. 2) Setelah Elia lebih kuat secara fisik, Ia bertanya kepada Elia, “Apa kerjamu di sini, hai Elia?” (1 Raj. 19:9,13). Dengan itu Tuhan mau membangkitkan kesadaran Elia akan tugas dan panggilannya yang semula. 3) Tuhan memberi tugas baru kepada Elia untuk mengurapi tiga orang, yaitu Hazael menjadi Raja Aram, Yehu menjadi raja Israel, dan Elisa menjadi nabi yang akan menggantikannya (1 Raj. 19:15-16). Selain melayani, Elia harus mempersiapkan pengganti yang akan meneruskan pelayanannya. Visi dan misi Elia semakin diperjelas.4) Ia memberitahu Elia bahwa ada 7000 orang yang tetap setia kepada Tuhan (1 Raj. 19:18). Tuhan meneguhkan hati Elia bahwa ia tidak sendiri.
Elia bangkit. Ia tidak lagi tenggelam dalam keputusasaannya. Ia kembali melayani Tuhan dengan setia. Ia tidak lagi berfokus pada diri sendiri dan kesulitannya, tetapi berfokus pada Tuhan. Dengan segenap hati ia melaksanakan tugas dan panggilan dari Allah.
Semua orang bisa jatuh kepada keputusasaan. Orang yang seteguh nabi Elia saja bisa jatuh dalam keputusasaan. Oleh karena itu kita harus selalu mawas diri.
Orang yang merasa dirinya kuat, justru rentan terhadap kejatuhan. Maka dari itu kita harus senantiasa waspada dan berdoa agar tidak jatuh dalam menghadapi berbagai pencobaan. Jika kita mengalami keputusasaan, segeralah sadar bahwa ada Tuhan. Ia mengasihi, peduli dan mau menolong kita.
Ingatlah apa yang dikatakan Rasul Paulus dalam Filipi 4:13: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”
Belanja di App banyak untungnya:
Gajah Mada, karya Muhammad Yamin
Banyak pihak menilai, abad ke-20 merupakan masa kejayaan peradaban Minangkabau. Hal ini ditandai dengan besarnya peran mereka dalam lima lini pokok kehidupan bermasyarakat di Indonesia (dan Nusantara pada umumnya). Dari lima bidang tersebut, yakni : politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, serta sosial keagamaan, Minangkabau telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ahli yang kompeten di bidangnya. Para ahli itu, yang telah go internasional dan bahkan melegenda antara lain : Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Tuanku Abdul Rahman, Yusof Ishak (politik); Hasyim Ning, Abdul Latief, Tunku Tan Sri Abdullah (ekonomi/bisnis); Chairil Anwar, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Usmar Ismail, Soekarno M. Noer (budaya); Emil Salim, Sheikh Muszaphar Shukor, Taufik Abdullah, Azyumardi Azra (ilmu pengetahuan); serta Agus Salim, Hamka, Natsir, Tahir Jalaluddin, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syafii Maarif (sosial-keagamaan).
Namun dari itu, sedikit sekali orang yang mengetahui kejayaan Minangkabau di masa lampau. Menurut hasil penelitian Mochtar Naim yang dituangkan dalam disertasinya “Merantau”, sejak dahulu kala orang-orang Minang telah banyak berkontribusi dalam pembentukan peradaban Nusantara. Dan diantara mereka banyak pula yang menjadi raja ataupun pendiri sebuah kerajaan. Dalam tulisan kali ini, kita akan melihat sepak terjang raja-raja asal Minangkabau, yang memerintah di banyak negeri seantero Nusantara.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dipercaya sebagai pendiri imperium besar Sriwijaya. Menurut tambo alam Minangkabau, Dapunta Hyang berasal dari lereng Gunung Merapi, yang kemudian melakukan migrasi bersama sejumlah penduduk setempat. Dengan mengaliri Sungai Kampar dari pedalaman Minangkabau, Dapunta Hyang beserta rombongannya tiba di bibir pantai Selat Malaka. Mereka terus melanjutkan perjalanan ke selatan hingga bertemu muara Sungai Musi. Dari sini mereka mencoba memudiki Sungai Musi dan berjumpa lereng Gunung Dempo. Dari lereng gunung inilah kemudian Dapunta Hyang beserta rombongannya membangun sebuah kedatuan yang berpusat di tepian Sungai Musi.
Prasasti Kedukan Bukit
Kisah perjalanan Dapunta Hyang dari tanah Minang, terukir jelas dalam Prasasti Kedukan Bukit. Prasati itu bercerita tentang rombongan Dapunta Hyang yang selamat melakukan perjalanan dan penyerangan dari Minanga, bersama serombongan pasukan yang melewati darat maupun laut. Hingga saat ini, penafsiran isi prasasti tersebut masih simpang siur. Poerbatjaraka berpendapat bahwa Minanga (atau Minanga Tamwan) merupakan hulu pertemuan dua sungai Kampar, yang berada di luhak Lima Puluh Koto. Dan Minanga Tamwan diprediksi sebagai asal usul nama Minangkabau. Sedangkan para ahli lainnya seperti George Coedes dan Slamet Muljana, justru berteori bahwa Minanga merupakan kerajaan taklukan Dapunta Hyang yang terletak di hulu Batanghari. E.S Ito dalam novelnya “Negara Kelima”, juga menyinggung mengenai migrasi Dapunta Hyang dari Minangkabau ke Palembang. Dikatakannya bahwa Dapunta Hyang telah menghiliri Sungai Batanghari sampai ke muara Jambi, dan kemudian melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki hingga ke tepian Sungai Musi. Menurutnya Dapunta Hyang adalah salah seorang pembesar Minangkabau, yang ingin mengembalikan kejayaan imperium Atlantis.
Putra Minangkabau lainnya yang duduk di tampuk kekuasaan adalah Kalagamet. Dia merupakan raja Majapahit kedua yang memerintah pada tahun 1309-1328. Kalagamet yang bergelar Sri Jayanagara, beribukan Dara Petak seorang permaisuri yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Pada masa berkuasa, dia mengangkat saudara sepupunya yang juga keturunan Minangkabau, Adityawarman, sebagai duta untuk negeri Tiongkok. Adityawarman adalah putra Dara Jingga, permaisuri Dharmasraya lainnya yang bersuamikan Adwayawarman. Di masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, Adityawarman naik jabatan sebagai wreddhamantri atau perdana menteri kerajaan. Dalam posisi strategis itu, dia membangkang kepada Tribhuwana dan melecehkan Majapahit. Pada tahun 1347, dia pulang kampung ke Sumatra dan mendirikan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan ini merupakan penerus wangsa Mauli yang telah berkuasa di Sumatra selama hampir satu setengah abad. Pada abad ke-14, Kerajaan Pagaruyung memiliki daerah taklukan ke hampir seluruh wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaysia. Kekuasaannya atas Nusantara barat, merupakan balance of power bagi Majapahit yang berkuasa di bagian tengah kepulauan.
Museum Adityawarman di Padang
Selain Jayanagara dan Adityawarman, tokoh Majapahit lainnya yang dipercaya berasal dari Minangkabau adalah Gajah Mada. Namanya mengikuti genre jago silat Minang lainnya seperti Harimau Campa, Gajah Tongga, atau Anjing Mualim. Sebagian orang memperkirakan, Gajah Mada merupakan putra seorang pendekar Minangkabau yang ikut mengantarkan Dara Petak dan Dara Jingga ke Majapahit. Namun Ridjaluddin Shar dalam novelnya “Maharaja Diraja Adityawarman: Matahari di Khatulistiwa”, malah berpendapat sebaliknya. Menurutnya Gajah Mada adalah anak dari salah seorang pasukan Pamalayu yang menikahi gadis Minangkabau. Asal usul Gajah Mada memang penuh misteri dan tanda tanya. Hingga saat ini belum ada sejarawan yang berhasil mengungkap kelahiran dan kematian tokoh besar tersebut, kecuali hanya dugaan-dugaan awal saja. Yang jelas, Gajah Mada merupakan simbol kebesaran Majapahit dan persatuan Indonesia. Ketika ia ditunjuk sebagai perdana menteri pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dalam Sumpah Palapa ia bernazar akan menaklukkan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit. Namun janjinya tersebut tak sempat terwujud, sampai akhirnya kerajaan itu runtuh pada awal abad ke-16.
Muhammad Yamin, seorang pakar hukum, ahli sejarah, budayawan, dan salah satu founding fathers Indonesia, merupakan pengagum berat sosok Gajah Mada. Kekagumannya mungkin juga dikarenakan pertalian darah yang sama sebagai putra Minangkabau. Usahanya dalam merekonstruksi peran Gajah Mada dalam buku setebal 112 halaman, merupakan salah satu bentuk kegandrungannya. Impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara, telah mengilhaminya untuk menggabungkan seluruh jajahan Hindia-Belanda dalam satu kesatuan wilayah politik. Pada bulan Oktober 1928, cita-citanya itu benar-benar terwujud. Dalam sebuah ikrar bersama yang kelak dikenal dengan Sumpah Pemuda, Yamin berhasil menyatukan seluruh komponen rakyat Hindia-Belanda, dalam satu bangsa, bahasa, dan tanah air.
Sultan Hassanal Bolkiah, salah seorang raja keturunan Minang
Pada tahun 1390, seorang pengelana Minangkabau yang kemudian berjuluk Raja Bagindo, mendirikan Kesultanan Sulu. Tak banyak riwayat mengenai raja yang satu ini, kecuali para keturunannya yang menjadi pelaut ulung. Kabarnya mereka sangat ditakuti oleh pedagang-pedagang Eropa yang acap melintasi perairan utara Nusantara. Mohd. Jamil al-Sufri dalam bukunya “Tarsilah Brunei: The Early History of Brunei up to 1432 AD” menyebutkan, bahwa dari silsilah raja-raja Brunei Darussalam, diketahui bahwa pendiri kerajaan ini : Awang Alak Betatar atau yang bergelar Sultan Muhammad Shah, berasal dari Minangkabau. Selain itu raja-raja Serawak di Kalimantan Utara, juga banyak yang berasal dari Minangkabau. Hal ini berdasarkan informasi para bangsawan Serawak, yang ditemui Hamka pada tahun 1960. Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie dalam bukunya “Mesin Ketik Tua” juga memerikan berita bahwa ketika James Brook dirajakan di Serawak, yang melantiknya adalah datuk-datuk asal Minangkabau.
Sultan Buyong, anak dari raja Indrapura yang bertahta di Pesisir Selatan, pernah berkuasa di Kesultanan Aceh pada tahun 1586-1596. Buyong (Buyung ?) naik menjadi raja, berkat pengaruh dan kekuatan para pedagang Minang yang berniaga di Kutaraja. Sebelum itu kakak ipar Buyong, Sultan Sri Alam, juga sempat bertahta di Kesultanan Aceh (1575-1576). Sri Alam berkuasa melalui kudeta berdarah hulubalang Minangkabau, yang disebut-sebut telah berkomplot dalam pembunuhan Sultan Muda. Untuk menyingkirkan pengaruh Minangkabau dari Kerajaan Aceh, sekaligus membalaskan dendam kematian Sultan Muda, pada tahun 1596 ulama-ulama Aceh melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyong. Dengan terbunuhnya Buyong maka berakhirlah pengaruh Indrapura di tanah rencong. Kesultanan Indrapura yang beribu kota di Indrapura (selatan Painan), merupakan pecahan dari Kerajaan Pagaruyung. Pada paruh kedua abad ke-16, kesultanan ini memiliki pengaruh yang cukup luas di pesisir barat Sumatra. Wilayahnya menjangkau daratan Aceh di utara hingga Bengkulu di selatan.
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I atau yang dikenal dengan Raja Kecil adalah salah seorang putra Pagaruyung pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sebelum mendirikan Kesultanan Siak pada tahun 1723, Raja Kecil sempat bertahta di Kesultanan Johor (1717-1722). Namun kekuasaannya tak bertahan lama, karena aksi kudeta yang dilancarkan Bendahara Abdul Jalil dan pasukan Bugis. Di masa pemerintahannya, Kesultanan Siak melakukan perluasan teritori hingga ke wilayah Rokan, dan berhasil membangun pertahanan armada laut di Bintan. Pada tahun 1740-1745, Siak menaklukkan beberapa kawasan di Semenanjung Malaysia. Dan 40 tahun kemudian, wilayah kekuasaannya telah meliputi Sumatra Timur, Kedah, hingga Sambas di pantai barat Kalimantan.
Istana Siak Sri Indrapura
Di Semenanjung Malaysia, Raja Melewar yang merupakan utusan Pagaruyung, menjadi raja bagi masyarakat setempat. Pada tahun 1773, konfederasi sembilan nagari di Semenanjung Melayu, membentuk sebuah kerajaan yang diberi nama Negeri Sembilan. Kerajaan ini terbentuk pasca derasnya arus migrasi Minangkabau ke wilayah tersebut. Seperti halnya masyarakat di Sumatra Barat, rakyat Negeri Sembilan juga menggunakan hukum waris matrilineal serta model adat Datuk Perpatih. Pada tahun 1957, Tuanku Abdul Rahman yang merupakan keturunan Raja Melewar, menjadi Yang Dipertuan Agung Malaysia pertama.
Di Tapanuli, Sisingamangaraja yang dipercaya sebagai Raja Batak, juga berasal dari Minangkabau. Hal ini berdasarkan keterangan Thomas Stamford Raffles yang menemui para pemimpin Batak di pedalaman Tapanuli. Mereka menjelaskan bahwa Sisingamangaraja adalah seorang keturunan Minangkabau yang ditempatkan oleh Kerajaan Pagaruyung sebagai raja bawahan (vassal) mereka. Hingga awal abad ke-20, keturunan Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus.
Lihat pula : 1. Perantau Minang di Malaysia 2. Orang Minang, Peran, dan Pencapaiannya 3. Mencari Akar Dinamisasi Minangkabau